Kapal induk Shi Lang milik Cina (Foto: sinodefenceforum.com) |
Sebelum dibeli Cina, Varyag hanyalah sampah besi dan baja. Bahkan, kapal induk pengangkut pesawat itu belum pernah menjalani uji pelayaran. Kemampuan Varyag untuk mengarungi samudra pun diragukan. Angkatan Laut (AL) Uni Soviet meninggalkan begitu saja konstruksi Varyag di galangan kapal Mykolaiv di Laut Hitam pada 1992 seiring bubarnya negeri tersebut. Ketika itu, Varyag masih berwujud kapal setengah jadi.
Bahkan, Varyag sempat terbengkalai di wilayah pesisir Laut Hitam selama enam tahun. Pada 1998, pemerintah Cina mengungkapkan ketertarikannya pada konstruksi kapal berukuran besar tersebut. Melalui sebuah perusahaan yang bermarkas di Makau, Beijing lantas melobi Ukraina yang mengantongi hak waris atas Varyag dari Uni Soviet. Saat itu, Beijing mengaku hendak menjadikannya sebagai kasino apung. Ukraina pun lantas memberikan restu.
Fakta bahwa Varyag belum pernah melewati uji layar membuat pemerintah Turki cemas. Mereka khawatir bahwa Varyag bakal tenggelam di Selat Bosphorus. Jika hal itu terjadi, konstruksi kapal sepanjang 300 meter itu jelas akan memantik kekacauan navigasi dan kerusakan lingkungan. Maklum, selat yang memisahkan Benua Eropa dan Asia itu menjadi salah satu titik strategis pelayaran internasional.
Turki pun baru memberikan izin melintas untuk Varyag pada 2001. Atas berbagai pertimbangan, Varyag akhirnya boleh melayari selat sepanjang 31 kilometer tersebut. Tapi, untuk keperluan itu, Turki terpaksa mensterilkan lalu lintas internasional di selat tersebut. Dengan cara diderek, kapal yang menjadi simbol tumbangnya Uni Soviet itu sukses melewati Bosphorus. Butuh waktu lima bulan bagi Varyag untuk tiba di Samudera Pasifik.
Austin Ramzy, koresponden majalah Time yang bertugas di Dalian, Cina, mengungkapkan bahwa tujuan awal Varyag adalah Makau. Sayang, pelabuhan Makau terlalu dangkal untuk menjadi tempat bersandar Varyag. “Bangkai kapal itu kemudian bersandar di pelabuhan Kota Dalian,” ungkapnya. Di sanalah, Varyag mengalami transformasi. Selama sekitar satu dekade, bangkai kapal itu berubah menjadi kapal induk.
Kehadiran kapal induk pertama yang dinamai Shi Lang tersebut membuat militer Tiongkok menggeliat menjadi kekuatan besar. Apalagi, dalam satu dasawarsa terakhir, kekuatan militer negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia tersebut juga berlipat ganda. Persenjataan dan perlengkapan militernya pun terus diremajakan. Tak hanya itu, anggaran militer Tiongkok terus meningkat rata-rata 15 persen per tahun sejak 2000 lalu.
“Beijing juga menjadi lebih agresif. Mereka secara terus-menerus memperbarui klaim atas kawasan lautnya. Terutama, di Laut Cina Selatan,” tulis Ramzy.
Untuk mengimbangi klaimnya, Beijing juga lebih rajin berpatroli di perairan sekitar wilayahnya. Terutama, di area yang memantik sengketa regional dengan Jepang, Filipina, dan Vietnam. Karena itulah, tidak heran jika pembenahan angkatan laut (AL) menjadi fokus utama militer Cina.
“Langkah Cina itu semakin memperkuat ketegasan mereka (atas teritori laut),” ujar Clive Schofield, Direktur Australian National Centre for Ocean Resources and Security pada University of Wollongong. (jpnn)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar